HERALD.ID, JAKARTA– Pasar saham Indonesia diguncang goncangan besar setelah Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok hingga 7,11 persen, memicu penghentian sementara perdagangan.

Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran akan kemungkinan terulangnya krisis ekonomi, seperti yang terjadi pada 1998 atau saat pandemi COVID-19.

Pengamat politik Rocky Gerung menilai, penurunan IHSG kali ini bukan sekadar gejolak ekonomi biasa, melainkan refleksi dari ketidakpastian politik yang kian meningkat.

Menurutnya, pasar saham selalu menjadi indikator yang jujur dalam membaca dinamika politik.

“Pasar merespons dengan cara yang paling rasional. Ketika politik tidak stabil, ekonomi pasti terguncang. Ini sudah menjadi pola dalam sejarah,” ujarnya.

Meskipun DPR mencoba memberikan sinyal stabilitas, ketidakpastian tetap menggelayuti pasar.

Fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar menambah tekanan, membuat investor semakin waspada.

Para analis sepakat bahwa hubungan antara politik dan ekonomi sangat erat—ketika salah satunya terganggu, dampaknya akan meluas ke sektor lainnya.

Saat ini, perhatian tertuju pada pembukaan perdagangan berikutnya. Jika tren penurunan IHSG terus berlanjut, dampaknya bisa lebih luas, bahkan berpotensi memicu krisis politik.

Presiden terpilih Prabowo Subianto, yang juga berlatar belakang pengusaha, tentu memahami risiko ini dan diharapkan mampu meredam kekhawatiran pasar.

Namun, tantangan bagi pemerintah tetap besar. Stabilitas nilai tukar rupiah menjadi sorotan utama, dan investor mulai mempertanyakan kemampuan Bank Indonesia dalam menstabilkan situasi.

Jika tekanan terhadap rupiah terus berlanjut, rencana bisnis para investor bisa terhambat, yang pada akhirnya berimbas pada perekonomian nasional.

Rocky Gerung mengingatkan bahwa dalam situasi seperti ini, psikologi pasar berperan besar.

“Ketika pelaku pasar mulai panik, itu bisa memicu efek bola salju. Bukan hanya pasar modal yang terguncang, tapi juga sektor riil yang ikut terkena dampaknya,” katanya.

Dalam konteks sosial, daya beli masyarakat juga menjadi perhatian.

Jika harga kebutuhan pokok melonjak akibat pelemahan rupiah, ketidakpuasan publik bisa meningkat.

“Mahasiswa dan kelompok sipil bisa menjadi katalisator protes, seperti yang kita lihat dalam sejarah krisis sebelumnya,” tambah Rocky.

Selain tekanan ekonomi, kondisi politik dalam negeri juga semakin kompleks. Hubungan antara Presiden Jokowi dan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dikabarkan masih tegang, dan ini turut menambah ketidakpastian di pasar.

Rocky menilai bahwa Prabowo berada dalam posisi sulit karena harus menavigasi berbagai kepentingan politik.

“Publik menginginkan perubahan, tetapi Prabowo juga harus menjaga keseimbangan politik. Jika tidak hati-hati, ketidakpuasan bisa dimanfaatkan oleh oposisi untuk mengguncang pemerintahan,” paparnya.

Seiring dengan meningkatnya ketidakpastian, investor asing juga mulai mempertimbangkan ulang komitmen mereka di Indonesia.

Diplomat asing disebut-sebut terus mengamati perkembangan ini, terutama terkait dengan bagaimana pemerintahan baru akan menangani situasi ekonomi yang memburuk.

Dalam dua minggu ke depan, setelah libur Lebaran, gelombang demonstrasi bisa meningkat jika kondisi ekonomi tidak membaik.

Rocky menilai, salah satu tantangan terbesar bagi Prabowo adalah meyakinkan publik bahwa pemerintahannya mampu menstabilkan situasi tanpa harus bergantung pada kebijakan populis yang berisiko bagi perekonomian jangka panjang.

“Krisis bisa dihindari jika pemerintah segera mengambil langkah konkret. Tapi jika dibiarkan berlarut-larut, bukan tidak mungkin kita akan melihat skenario yang mirip dengan 1998,” tutup Rocky Gerung. (*)