HERALD.ID, JAKARTA – Senin kelabu di Kampung Karang Manik, Kecamatan Negara Batin, Kabupaten Way Kanan, Lampung, tiga anggota kepolisian tewas dalam operasi penggerebekan judi sabung ayam. Mereka adalah Iptu Lusiyanto, Brigadir Petrus Aprianto, dan Bripda Ghalib Surya Ganta. Peristiwa ini mengejutkan publik, terlebih setelah tersiar kabar bahwa pelaku penembakan adalah anggota TNI.
Tak butuh waktu lama, dua terduga pelaku, Kopka B dan Peltu L, menyerahkan diri ke Polisi Militer di Lampung. Pihak Kodam II Sriwijaya menyatakan, investigasi masih berlangsung. Proyektil peluru hingga senjata yang digunakan dalam penembakan masih dalam pencarian, membuka celah bagi spekulasi liar yang beredar di masyarakat.
Dalam diskusi di sebuah program televisi nasional, kriminolog Universitas Indonesia, Adrianus Meliala, mengungkap kemungkinan motif di balik tragedi ini. Menurutnya, ada indikasi kuat bahwa aparat keamanan di lokasi telah lama mengetahui keberadaan arena sabung ayam tersebut. “Bukan tidak mungkin ada interaksi antara polisi dan pihak-pihak yang terlibat dalam sabung ayam ini. Jika sudah tahu ada backing dari aparat bersenjata, kenapa masih ada penggerebekan?” ujar Adrianus dalam wawancara dengan NTV.
Adrianus menyoroti kemungkinan operasi ini sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum menjelang hari raya. Ia menduga ada faktor kecemburuan sosial yang memicu tragedi ini. “Bisa jadi pelaku merasa tidak adil. Mengapa lokasi mereka yang digerebek, sementara yang lain aman karena diduga dibekingi pihak lain?” katanya.
Analisisnya diperkuat oleh pola penembakan yang terkesan terencana. “Tembakan dari jarak dekat, langsung ke bagian vital seperti kepala dan jantung, mengindikasikan kemarahan luar biasa,” lanjutnya. Ini bukan sekadar perlawanan spontan, tetapi reaksi atas tekanan yang dirasakan pelaku.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan, menyebut kasus ini sebagai puncak dari konflik laten antara TNI dan Polri. Menurut catatannya, sejak 2014 hingga awal 2025, terdapat setidaknya 37 kasus bentrokan terbuka antara kedua institusi.
“Konflik ini seolah disapu di bawah karpet, padahal di lapangan api dalam sekam terus menyala,” ujarnya.
Di tengah seruan penyelesaian kasus ini, muncul pertanyaan lebih besar: bagaimana mencegah insiden serupa? Jika gesekan antara aparat terus terjadi, apakah ini pertanda bahwa koordinasi keamanan di tubuh negara sedang rapuh? Tragedi di Way Kanan menjadi alarm keras bagi negara untuk segera bertindak sebelum sejarah kelam terulang kembali. (*)