HERALD.ID, JAKARTA – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi mengesahkan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam sidang paripurna. Keputusan ini diambil secara aklamasi oleh seluruh fraksi di parlemen, termasuk partai yang sebelumnya dikenal sebagai oposisi.

Namun, di sisi lain, kalangan masyarakat sipil, akademisi, dan mahasiswa menentang keras revisi ini karena dinilai membuka kembali ruang bagi militer untuk masuk ke ranah sipil.

Pengamat politik, Rocky Gerung, menyoroti keputusan DPR yang tetap meloloskan revisi UU TNI meskipun mendapat banyak penolakan dari berbagai elemen masyarakat.

Ia menilai bahwa keputusan ini mencerminkan semakin jauhnya hubungan antara pemerintah dan rakyat yang diwakili oleh DPR.

“Ini jelas menunjukkan bahwa pemerintah dan DPR sudah mencapai satu kesepakatan politik. Seberapa besar pun penolakan masyarakat, revisi ini tetap disahkan. Ini menandakan bahwa ada kepentingan tertentu yang ingin memastikan distribusi personel TNI di berbagai lembaga sipil,” ujar Rocky dikutip melalui akun YouTube-nya.

Rocky menjelaskan bahwa alasan yang digunakan untuk membenarkan keterlibatan militer dalam lembaga sipil adalah kurangnya kapasitas sipil dalam menjalankan tugas tertentu. Menurutnya, jika benar demikian, pemerintah seharusnya berfokus pada peningkatan kapasitas sipil, bukan malah memberi ruang lebih besar bagi militer.

“Jika suatu lembaga sipil diisi oleh personel militer, itu berarti kapasitas sipil dianggap tidak cukup. Tapi pertanyaannya, apakah benar ada kedaruratan yang mengharuskan ini? Apakah kita sedang dalam kondisi perang atau menghadapi ancaman besar?” tambahnya.

Masyarakat sipil, termasuk mahasiswa dan akademisi, menilai bahwa keputusan ini berpotensi mengembalikan praktik dwifungsi ABRI yang telah dihapus pascareformasi.

Mereka mengingatkan bahwa sejak reformasi, Indonesia telah berkomitmen untuk menempatkan supremasi nilai-nilai sipil di atas kepentingan militer dalam tata kelola negara.

“Demokrasi itu berbasis pada perdebatan dan diskusi. Jika nilai-nilai militer, yang mengedepankan komando dan kepatuhan mutlak, diterapkan dalam kehidupan sipil, maka demokrasi akan kehilangan esensinya. Ini yang perlu dipahami,” tegas Rocky.

Selain itu, Rocky juga menyoroti cara pemerintah dan aparat dalam menangani aksi demonstrasi menolak revisi UU TNI.

Ia menilai bahwa pengerahan personel TNI dan Polri dalam jumlah besar saat unjuk rasa menunjukkan indikasi penggunaan kekuatan untuk meredam aspirasi masyarakat.

“Bukannya mendengar aspirasi publik, mereka malah merespons dengan pengerahan aparat yang terkesan intimidatif. Ini memperlihatkan bahwa pemerintah lebih mengutamakan stabilitas politik dibanding mendengarkan aspirasi rakyatnya sendiri,” kata Rocky.

Banyak pihak kini mempertanyakan posisi DPR sebagai representasi rakyat. Sebab, alih-alih menjadi wadah untuk memperjuangkan aspirasi publik, DPR justru terlihat lebih dekat dengan kepentingan pemerintah.

Rocky menilai bahwa dengan disahkannya revisi UU TNI ini, DPR telah mengamputasi peran kontrolnya terhadap militer.

“DPR seharusnya menjadi wakil rakyat, bukan sekadar kepanjangan tangan pemerintah. Dengan mengesahkan revisi ini tanpa mempertimbangkan penolakan publik, mereka justru memperlemah peran mereka sendiri dalam mengontrol kebijakan militer di ranah sipil,” ujarnya.

Di tengah berbagai tantangan ekonomi dan politik yang dihadapi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, Rocky mengingatkan bahwa kegagalan dalam membaca aspirasi publik dapat menjadi pemicu ketidakstabilan lebih lanjut.

“Pemerintah harus lebih peka terhadap tuntutan masyarakat sipil. Jangan menganggap ini hanya riak kecil. Dalam sejarah, banyak kekacauan besar yang berawal dari hal-hal kecil yang diabaikan,” pungkasnya. (*)