HERALD.ID, BOGOR – Langit Puncak tak selalu cerah. Di antara hijaunya pegunungan dan gemerlap wisata, badai kritik tengah menggulung. Menteri Pariwisata Widiyanti Putri Wardhana melontarkan keberatan keras terhadap langkah Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang melakukan pembongkaran sepihak terhadap kawasan wisata Hibit Fantasi. Namun, alih-alih menuai dukungan, justru kritik balik yang menyeruak dari masyarakat.

Di jagat maya, publik bertanya: siapa yang sebenarnya lalai? “Apakah tempat wisata ini tidak pernah berpikir tentang dampaknya? Apakah ibu Menteri juga tidak mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan dari Hibit Fantasi?” Sejumlah komentar bernada tajam berseliweran di kolom diskusi.

Pernyataan Menteri Widiyanto bahwa “pembongkaran tidak boleh dilakukan sepihak” mendapat sorotan tajam. Nyatanya, perizinan kawasan itu sejak awal telah dipertanyakan. Berapa meter seharusnya? Berapa hektare yang diizinkan? Dan berapa yang akhirnya berdiri? Fakta di lapangan menunjukkan adanya ketidaksesuaian.

Sikap Gubernur Dedi Mulyadi tegas. Baginya, aturan harus ditegakkan, terlebih jika sebuah usaha wisata berdampak buruk bagi lingkungan dan masyarakat. Longsor, banjir, hingga ekosistem yang terkoyak adalah konsekuensi yang tak bisa diabaikan. “Kalau sebuah wisata merusak alam, membahayakan masyarakat, bahkan menghilangkan nyawa, apakah tetap harus dipertahankan?”

Menteri Widiyanti merespons dengan kalimat yang, bagi banyak orang, terdengar kurang meyakinkan. Bahasa yang terpatah-patah, pilihan kata yang tak menggugah keyakinan, serta pernyataan yang dinilai tidak berpihak pada kepentingan publik semakin memperlebar jurang opini. Kritik tak hanya mengarah pada substansi argumennya, tetapi juga pada cara penyampaiannya yang dianggap kurang percaya diri dan tak orisinal.

Di hadapan situasi ini, pertanyaan besarnya adalah: regulasi atau investasi, mana yang lebih utama? Seharusnya, kebijakan pariwisata tak hanya berorientasi pada pendapatan, tetapi juga menjaga keseimbangan antara ekonomi dan kelestarian. Menteri Pariwisata seharusnya berkata, “Kami mendukung sektor wisata, tetapi tidak akan membiarkan wisata yang merugikan masyarakat dan merusak lingkungan.”

Tapi itulah yang tak terdengar. Alih-alih membangun narasi yang berpihak pada rakyat, pernyataan yang keluar seolah membela status quo, tanpa memperhitungkan dampak ekologis dan sosial yang lebih luas.

Gubernur Dedi Mulyadi tetap bergeming. Sementara Menteri Pariwisata Widiyanti sibuk menjelaskan kebijakan dalam bahasa yang sulit dimengerti, masyarakat justru menaruh simpati pada pemimpin daerah yang berani bertindak. Sebab bagi mereka, keberpihakan sejati bukan hanya soal investasi, tetapi soal bagaimana kebijakan bisa benar-benar menjaga keseimbangan antara pembangunan dan kelangsungan hidup. (*)