HERALD.ID, WAY KANAN – Tiga peluru bersarang di tubuh tiga anggota Polres Way Kanan, Lampung, pada penggerebekan arena sabung ayam di sore yang kelam. Sebuah senjata api rakitan, dengan spesifikasi campuran, menjadi eksekutor tanpa wajah di tangan Kopda Basarsyah. Ia mengakui menekan pelatuk, mengantar tiga nyawa ke jurang maut. Keheningan malam pecah oleh suara letusan dan gemuruh langkah-langkah panik di antara jaring perjudian ilegal.
“Pelaku penembakan saat terjadi penggerebekan sabung ayam di Way Kanan adalah Kopda B,” ujar Wakil Komandan Pusat Polisi Militer TNI Angkatan Darat (Wadanpuspomad) Mayor Jenderal TNI Eka Wijaya Permana dalam konferensi pers di Mapolda Lampung, Selasa, 25 Maret 2025. Kata-katanya mengunci teka-teki yang sebelumnya bergelayut di benak publik.
Analisis forensik memvalidasi pengakuan. Selongsong peluru yang ditemukan di tempat kejadian perkara selaras dengan senjata rakitan yang digenggam sang Kopda. Denpom telah menguji perangkat mematikan itu, tetapi uji balistik di Pindad akan memberikan kepastian yang lebih tajam.
“Proses ini bertujuan untuk mendapatkan analisis yang lebih akurat terkait asal dan spesifikasi senjata,” lanjut Mayjen Eka.
Sebilah pisau hukum kini diarahkan kepada dua sosok. Kopda Basarsyah dijerat Pasal 340 juncto Pasal 338 KUHP serta Pasal 1 Ayat (1) UU Darurat RI No 12 Tahun 1951. Hukuman seumur hidup atau maksimal 20 tahun mengintainya di ujung persidangan. Sementara itu, Peltu Yohanes Lubis, yang turut terseret dalam pusaran perjudian, menghadapi jerat Pasal 303 KUHP dengan ancaman maksimal 10 tahun penjara.
Kasus ini bukan sekadar perkara kriminal, melainkan kisah suram yang merangsek ke tubuh institusi. Tiga polisi terbunuh bukan oleh tangan penjahat biasa, melainkan oleh sesama aparatur negara. Kejahatan ini merobek batas antara hukum dan ketidakadilan, menelanjangi kenyataan pahit bahwa di beberapa sudut, hukum dapat menjadi alat sekaligus korban.
“Semua langkah dilakukan secara saintifik untuk memenuhi rasa keadilan bagi keluarga korban dan masyarakat,” tegas Mayjen Eka. Namun, di luar laboratorium forensik dan ruang interogasi, masyarakat tetap bertanya-tanya: apakah keadilan memang akan tegak atau hanya menjadi bayang-bayang di balik berkas kasus yang bertumpuk? (*)