HERALD.ID, JAKARTA — Penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI terus berlanjut di berbagai daerah.

Eskalasi aksi unjuk rasa semakin meningkat, terutama di Malang, Jawa Timur, di mana sekelompok demonstran bahkan membakar gedung DPRD Kota Malang.

Tak hanya mahasiswa, kelompok suporter sepak bola seperti Arema Malang turut bergabung dalam gelombang protes ini.

Pengamat politik, Rocky Gerung menilai bahwa kemarahan kaum muda ini bukan semata-mata dipicu oleh RUU TNI, melainkan merupakan akumulasi dari berbagai faktor, termasuk perlakuan kasar aparat terhadap demonstran.

Dalam wawancara terbaru, Rocky mengungkapkan bahwa mahasiswa saat ini memiliki memori kolektif terkait sejarah gerakan politik, di mana mereka melihat ketidakkonsistenan pemerintah dalam menegakkan demokrasi.

“Bagi mahasiswa, diperlakukan kasar oleh aparat adalah undangan untuk semakin solid. Mereka selama dua tahun lebih menunda aktivisme akibat pandemi, dan kini momentum itu datang kembali,” ujar Rocky.

Rocky juga menghubungkan aksi ini dengan melemahnya legitimasi pemerintah dan tekanan ekonomi yang semakin dirasakan oleh masyarakat, terutama kelas menengah.

Menurutnya, keresahan ini diwariskan secara historis dari generasi ke generasi, sebagaimana gerakan mahasiswa yang terjadi pada tahun 1966, 1974, 1998, hingga sekarang.

“Mahasiswa Indonesia selalu hadir dalam setiap perubahan politik besar. Mereka melihat dinamika kekuasaan yang dianggap anti-demokrasi sebagai bagian dari tradisi perlawanan,” tambahnya.

Lebih lanjut, Rocky menilai bahwa pengesahan RUU TNI hanyalah pemicu, bukan penyebab utama gelombang protes ini.

Ia menegaskan bahwa di balik aksi mahasiswa terselip tuntutan yang lebih besar, yakni mengadili Presiden Joko Widodo terkait berbagai dugaan pelanggaran, mulai dari dinasti politik, ijazah palsu, hingga penyalahgunaan kekuasaan.

“Gerakan mahasiswa hari ini bukan hanya soal RUU TNI, melainkan juga bentuk kekecewaan terhadap berbagai praktik yang dianggap menyimpang dalam pemerintahan. Mereka menuntut transparansi dan akuntabilitas,” ujarnya.

Selain itu, Rocky juga menyoroti meningkatnya kekerasan aparat dalam merespons demonstrasi, yang menurutnya semakin memperburuk citra demokrasi Indonesia.

Ia menyebut bahwa aksi represif terhadap mahasiswa di berbagai daerah seperti Malang, Manado, Ujung Pandang, dan Surabaya menjadi bukti bahwa kekerasan struktural masih digunakan untuk meredam ekspresi publik.

“Mahasiswa bukan hanya menolak RUU TNI, mereka juga menolak praktik otoritarianisme yang terus berkembang. Mereka ingin memastikan bahwa pemerintahan ke depan berjalan sesuai prinsip demokrasi yang sesungguhnya,” tegas Rocky.

Dengan momentum bulan Ramadan, aksi demonstrasi diperkirakan akan mereda sementara. Namun, menurut Rocky, setelah libur Lebaran, konsolidasi akan kembali digencarkan. Ia menegaskan bahwa mahasiswa tidak akan berhenti sampai tuntutan mereka mendapatkan respons yang memadai dari pemerintah.

“Ini bukan sekadar aksi sesaat. Mahasiswa menginginkan transparansi dan keadilan. Jika pemerintah tidak menanggapi secara serius, gerakan ini akan terus berlanjut,” pungkasnya. (*)