HERALD.ID, JAKARTA – Di hadapan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Erintuah Damanik akhirnya mengakui keterlibatannya dalam kasus suap vonis bebas Ronald Tannur. Ia tak hanya membuka tabir permainan uang di balik pengadilan, tetapi juga mengungkap pergulatan batin yang nyaris membuatnya mengambil langkah fatal—bunuh diri.

Kasus ini bermula dari jeratan hukum terhadap Ronald Tannur, putra seorang pengusaha ternama, Meirizka Widjaja, atas kematian kekasihnya, Dini Sera Afrianti. Meirizka tak tinggal diam. Ia meminta pengacaranya, Lisa Rahmat, untuk mencari jalan keluar. Jalan itu kemudian ditemukan melalui mantan pejabat Mahkamah Agung, Zarof Ricar, yang mencarikan hakim PN Surabaya yang bersedia “bekerja sama” demi membebaskan Ronald.

Dari sanalah uang mulai mengalir. Jaksa mengungkap bahwa tiga hakim—Erintuah Damanik, Heru Hanindyo, dan Mangapul—menerima suap dalam bentuk rupiah dan dolar Singapura, dengan total mencapai Rp 3,6 miliar. Vonis bebas pun dijatuhkan. Namun, belakangan terungkap bahwa putusan itu bukan murni dari pertimbangan hukum, melainkan hasil dari transaksi di balik layar.

Ketika penyelidikan dimulai, Erintuah merasa terhimpit. Nurani dan rasa bersalah menghantui pikirannya. Dalam sidang, ia mengaku bahwa di tengah keputusasaan, ia sempat ingin mengakhiri hidupnya. Namun, sebuah perenungan dalam Alkitab mengubah segalanya. “Saya lebih baik melakukan apa yang benar daripada menyembunyikan sesuatu yang busuk tetapi berdampak kepada anak dan istri saya,” ungkapnya. Ia khawatir dosa ini akan menjadi kutukan bagi keluarganya.

Erintuah bukan satu-satunya yang tahu bagaimana suap itu terjadi. Ia pun mencoba berbicara dengan Mangapul, salah satu hakim lain yang terlibat, dan meyakinkannya untuk mengakui perbuatan mereka. “Saya bilang, ‘Lae, terserah kau mau mengaku atau tidak, tapi saya akan mengaku, karena ini hasil kontemplasi saya’,” katanya dalam persidangan. Akhirnya, Mangapul pun mengakui keterlibatannya.

Namun, cerita berbeda datang dari Heru Hanindyo. Dalam sidang, Erintuah mengungkap bahwa Heru awalnya meminta agar namanya tidak disebut dalam kasus ini. Bahkan, Heru menawarkan jaminan biaya pendidikan hingga pernikahan anak Erintuah jika ia tetap bungkam. Heru membantah tuduhan ini.

Bantahan Heru tak berhenti di situ. Ia juga menepis dugaan bahwa dirinya menerima uang suap atau berperan dalam pembagian uang kepada rekan-rekan hakim lainnya. Meski begitu, dalam penggeledahan, penyidik Kejaksaan Agung menemukan uang tunai dalam berbagai mata uang di rumah dan mobilnya.

Heru punya penjelasan. Ia mengklaim bahwa uang USD 2.200 yang ditemukan merupakan sisa perjalanan dinas luar negeri. Ada juga 100 ribu yen Jepang yang biasa ia gunakan saat transit di Bandara Haneda, serta SGD 9.100 yang disebutnya sebagai titipan dari kakaknya untuk membeli tas di outlet premium—meski akhirnya tak jadi dibelikan karena tak menemukan toko yang sesuai di Spanyol.

Tak hanya itu, Heru juga menjelaskan bahwa dirinya terbiasa membawa uang tunai untuk kebutuhan sehari-hari. Di rumahnya, penyidik menemukan Rp 70 juta dalam koper hitam, yang menurutnya merupakan hasil bagi usaha warung milik orang tuanya. Di tas dan mobilnya pun ditemukan uang tunai dalam pecahan rupiah, yang diklaimnya sebagai persediaan untuk makan atau sekadar membayar layanan transportasi daring.

Meski berbagai alasan disampaikan, persidangan tetap menggali lebih dalam keterlibatan Heru dan dua hakim lainnya dalam kasus ini. Jaksa terus menekan dengan pertanyaan-pertanyaan yang menguji konsistensi jawaban mereka.

Di balik kisah ini, publik disuguhi potret buram wajah peradilan. Hakim, yang seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan, justru terjebak dalam lingkaran uang dan kepentingan. Namun, di sisi lain, kasus ini juga menunjukkan bahwa di antara mereka yang terjerumus, masih ada yang bergulat dengan nurani—meski pengakuan datang terlambat, meski hukuman tetap menanti. (*)