HERALD.ID, BEIJING – Trump salah orang. Ketika Presiden Amerika Serikat itu menggencet pelatuk tarif hingga tembus 145 persen, Tiongkok justru menginjak gas. Dunia menyaksikan paradoks ekonomi global yang tak lagi berpihak pada narasi perang dagang klasik: bahwa tarif tinggi pasti membuat lesu ekspor.
Tiongkok justru melawan dengan angka. Produk Domestik Bruto (PDB) negeri tirai bambu melonjak hingga 31.875,8 miliar yuan, dengan pertumbuhan 5,4% pada kuartal pertama 2025. Lebih mengejutkan, ekspor Maret melejit lebih dari 12% dibanding tahun lalu. Kuartal pertama pun ditutup dengan kenaikan ekspor sebesar 6,9%.
Tarif Amerika yang menjulang tak membuat pabrik-pabrik di Guangdong atau pelabuhan-pelabuhan di Shanghai berdeham cemas. Sebaliknya, mereka mengebut. Mengamankan kontrak, mempercepat pengiriman, dan mengisi kapal sebelum tarif Trump berdampak penuh.
Stephen Innes dari SPI Asset Management menyebut strategi ini sebagai “aktivitas preemptif”. Para importir AS, katanya, “menimbun sebelum badai.” Tapi di balik itu, strategi makroekonomi Tiongkok juga bekerja senyap namun cerdas.
Sektor industri tumbuh 6,5%, ditopang ekspor kuat dan diversifikasi pasar. Sektor jasa naik 5,3%, ritel pulih dengan pertumbuhan 4,6%, dan manufaktur berteknologi tinggi seperti mobil energi baru serta robot industri memperlihatkan performa impresif. Di tengah tekanan eksternal, Tiongkok justru meneguhkan diri sebagai pusat gravitasi ekonomi dunia yang bergeser ke Timur.
Namun tidak semua cerah. Impor turun 6%, pertanda bahwa konsumsi domestik belum pulih sepenuhnya. Ketergantungan ekspor masih tinggi, dan risiko penurunan ekspor ke Amerika bisa mencapai dua pertiga dalam beberapa bulan mendatang, menurut UBS.
Tetapi Beijing tak goyah. Juru bicara Biro Statistik Nasional, Sheng Laiyun, menegaskan bahwa ekonomi Tiongkok berdiri di atas fondasi kokoh. “Kami memiliki kepercayaan dan kemampuan untuk mengatasi tantangan eksternal dan mencapai tujuan pembangunan yang telah ditetapkan,” katanya.
Sementara Washington sibuk menaikkan tarif dan memperkeruh suasana dengan retorika keras, Tiongkok merespons dengan kecepatan dan perhitungan. Dunia boleh gaduh, tetapi ekspor tetap jalan, angka tetap naik, dan Xi Jinping tetap tenang.
Di tahun politik dan perang dagang jilid baru, tampaknya mental yang kena duluan bukan ekonomi Tiongkok — tapi ego Trump sendiri. (*)